
Koteka merupakan pakaian tradisional masyarakat Papua yang dipakai sebagai alat penutup kelamin laki-laki. Hingga saat ini koteka masih sering digunakan oleh masyarakat Papua khususnya di pedalaman. Koteka adalah salah satu keragaman kekayaan budaya Indonesia, bentuknya unik mungkin juga lucu bahkan ada yang menganggap porno, tapi itulah budaya kadang terlihat aneh jika dilihat dari kacamata kita. Setiap daerah memiliki kebudayaan masing-masing, begitu juga dengan Papua yang terkenal dengan koteka. Selain merupakan pakaian tradisional, koteka juga dijadikan souvenir asli Papua. Pengertian koteka secara harfiah, pakaian ini berasal dari bahasa Mee. Sementara itu Suku Dani yang hidup di Lembah Baliem, Wamena, Kabupaten Jayawijaya menyebut pakaian tradisional laki-laki ini dengan nama holim atau horim. Masing-masing suku di Papua mempunyai istilah sendiri untuk menyebutnya, namun pakaian tradisional ini lebih popular dengan sebutan koteka.

Koteka mulai dibentuk sejak masa tanam labu. Setelah beberapa bulan tumbuh, labu diikat dengan batu agar diperoleh bentuk tegak lurus. Untuk mendapatkan bentuk labu yang melengkung, sebelum dipanen, batu yang diikat menggantung tersebut dilepas. Koteka di buat dari kulit buah labu yang berbentuk panjang dan berkulit keras atau nama latinnya Lagenaria Sicecaria. Suku Mee menyebutnya bobbe. Bobbe biasanya di tanam di kebun atau di halaman rumah. Proses pembuatannya, bobbe dipetik (biasanya yang sudah tua) kemudian dimasukkan kedalam pasir halus. Di atas pasir halus tersebut dibuat api yang besar. Setelah panas kulit bobbe akan lembek dan isinya akan mencair, lalu biji-biji beserta cairan akan keluar dari dalam ruas bobbe. Setelah itu, bobbe digantung (dikeringkan) di atas perapian hingga kering. Setelah kering dilengkapi dengan anyaman khusus dan siap pakai sebagai koteka. Mengenai ukuran dan bentuk koteka tak berkaitan dengan status pemakainya. Ukuran biasanya berkaitan dengan aktivitas pengguna, hendak bekerja atau upacara. Banyak suku-suku di Papua dapat dikenali dari cara mereka menggunakan koteka. Koteka yang pendek digunakan saat bekerja, dan yang panjang dengan hiasan-hiasan digunakan dalam upacara adat. Namun demikian, setiap suku memiliki perbedaan bentuk koteka.

Koteka memiliki fungsi lain sebagai penanda status sosial dan bahkan simbol perlawanan. Ini adalah salah satu pakaian tradisional yang dikenakan sebagian masyarakat Papua, terutama di area dataran tinggi. Saat ini masyarakat yang masih mengenakan koteka terdapat di wilayah adat Mee Pago (suku Mee dan Moni) dan La Pago (suku Lani, Dani, Yali, Katengban, dan Ngalum). Suku-suku ini kebanyakan bermukim di wilayah Pegunungan Tengah Papua (terbentang dari Danau Paniai, lembah besar Baliem, dan pegunungan Jayawijaya. Pembentukan labu punya tujuan tertentu. Dalam lingkungan masyarakat Baliem, bentuk koteka menandakan kelas sosial pemakainya. Koteka yang berbentuk melengkung hanya dikenakan orang-orang yang punya pengaruh dalam masyarakat. Koteka yang ujungnya melengkung ke depan (kolo) di sandang oleh Ap Kain atau pemimpin konfederasi (pemimpin klan). Golongan menengah mengenakan koteka yang ujungnya melengkung ke samping (haliag). Mereka di antaranya adalah Ap Menteg (panglima perang) dan Ap Ubalik (tabib dan pemimpin adat). Sedangkan yang bentuknya tegak lurus boleh digunakan masyarakat biasa.
Koteka sudah dikenal berabad-abad lalu. Misionaris-misionaris Belanda, yang menempatkan pos pertama mereka di Papua pada 1855, mendorong masyarakat pedalaman untuk meninggalkan kebiasaan berkoteka. Bagi yang mau bersekolah, mereka memberikan setelan pakaian lengkap. Namun masyarakat di Pegunungan Tengah tak sepenuhnya menanggalkan koteka mereka. Pada 1950-an para misionaris akhirnya fokus pada isu-isu lain dan meninggalkan masalah cara berpakaian.